Artikel Drh. Ai Srimulyati, M.Si (22 Februari 2017)
Susu merupakan pangan asal hewan yang memiliki kelembaban tinggi serta konsentrasi asam yang rendah sehingga mudah rusak jika tidak diawetkan (Zanella et al. 2010). Pembuatan keju ditujukan untuk memperpanjang umur simpan dan melestarikan komponen bergizi susu. Kapasitas produksi keju dalam negeri yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan importasi keju. Besarnya volume dan tingginya frekuensi impor keju memerlukan pengawasan terhadap keberadaan residu antibiotik sebagai bahan berbahaya bagi konsumen. Menurut Nagel et al. (2009) penggunaan antibiotik secara intensif untuk pengobatan maupun sebagai bahan tambahan dalam pakan tanpa memperhatikan waktu henti obat atau farmakokinetika obat maka kemungkinan besar akan mengakibatkan hadirnya residu obat tersebut dalam pangan asal hewan dan juga produk olahannya.
Salah satu golongan antibiotik yang sering digunakan pada peternakan sapi perah adalah tetrasiklin. Menurut Adetunji (2011), residu tetrasiklin hadir dengan konsentrasi berbeda pada berbagai tahap pengolahan keju, dan tahap pengolahan keju tidak sepenuhnya menghilangkan residu tetrasiklin meskipun telah mengalami berbagai perlakuan. Codex Alimentarius Commission (CAC) menetapkan batas maksimum residu untuk tetrasiklin dalam susu adalah 100 ppb (CAC 2011) sedangkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 batas maksimum residu untuk tetrasiklin dalam susu adalah 50 ppb (BSN 2000).
Deteksi residu tetrasiklin pada keju impor dilaksanakan dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Prinsip dasar uji ini adalah reaksi antigen-antibodi. Sumur microtiter terlebih dahulu dilapisi dengan tetrasiklin-protein-konjugat (antigen yang telah dikenal) kemudian ditambahkan standar tetrasiklin atau larutan sampel (antigen yang tidak dikenal/tetrasiklin bebas) dan antibodi anti-tetrasiklin (antibodi primer). Tetrasiklin bebas dan tetrasiklin-protein-konjugat bersaing untuk mengikat antibodi anti-tetrasiklin (kompetitif). Setiap antibodi yang tidak berikatan kemudian dihilangkan. Selanjutnya, antibodi sekunder berlabel enzim ditambahkan ke dalam sumur agar berikatan dengan antibodi primer. Setelah menghilangkan antibodi sekunder yang tidak berikatan, larutan substrat kromagen ditambahkan ke dalam sumur lalu diinkubasi. Ikatan konjugat enzim akan mengubah warna kromagen menjadi biru.
Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lintas seksional. Besaran sampel yang didapat dengan menggunakan perangkat Win Episcope 2.0 adalah sebesar 51 sampel. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk menggambarkan residu antibiotik tetrasiklin.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tujuh dari 51 sampel yang diperiksa (13.7%) mengandung residu tetrasiklin dengan konsentrasi di bawah BMR yang ditetapkan oleh SNI dan CAC. Adanya sampel keju yang mengandung residu tetrasiklin dengan konsentrasi sangat rendah pada penelitian ini menunjukkan digunakannya tetrasiklin sebagai agen terapeutik/subterapeutik pada sapi perah di negara asal tetapi penggunaannya masih memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time). Menurut Berendsen et al. (2011) dan Loksuwan (2002), saat ini tetrasiklin banyak digunakan dalam produksi ternak, khususnya pada pemeliharaan hewan intensif seperti peternakan sapi perah. Dugaan lain yang dapat menyebabkan hadirnya residu tetrasiklin adalah adanya residu tetrasiklin pada susu sebagai bahan mentah tetapi seiring berbagai tahap di dalam proses pengolahan keju konsentrasinya menurun. Loksuwan (2002) menyebutkan prosedur pasteurisasi normal (63 °C selama 30 menit) menyebabkan penurunan residu tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin dalam susu tetapi tidak dapat menghilangkan residu seluruhnya. Selain perlakuan panas, pH juga berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap penurunan konsentrasi residu tetrasiklin dan klortetrasiklin, serta berpengaruh sangat signifikan terhadap penurunan konsentrasi residu oksitetrasiklin (Lendhanie 2000).
Monitoring deteksi residu antibiotik perlu dilakukan secara rutin demi menjamin keamanan keju impor. Selain itu, diperlukan suatu pedoman dan standar pengujian baku yang akan digunakan dalam pemeriksaan keju sebagai bagian dari tindakan karantina produk hewan impor.
DAFTAR PUSTAKA
Adetunji VO. 2011. Effects of processing on antibiotik residues (streptomycin, penicillin-g and tetracycline) in soft cheese and yoghurt processing lines. Pakistan J Nutr. 10(8):792-795.
Berendsen BJA, Elbers IJW, Stolker AAM. 2011. Determination of the stability of antibiotics in matrix and reference solutions using a straightforward procedure applying mass spectrometric detection. Food Addit Contam. 28(12):1657-1666.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI No. 01-6366-2000 tentang batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimun residu dalam bahan makanan asal hewan. Jakarta (ID): BSN.
[CAC] Codex Alimentarius Comision. 2011. Veterinary Drugs Residues in Food [internet]. Tersedia pada: http://www.codexalimentarius.net/vetdrugs/data/ index.html [21 Januari 2015].
Lendhanie UU. 2000. Penurunan residu tetrasiklin oksitetrasiklin dan klortetrasiklin oleh pemanasan dan pH larutan pada daging dada ayam broiler [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Loksuwan J. 2002. The effect of heating on multiple residues of tetracvclines in milk. Thammasat Int J Sc Tech. 7(3):17-21.
Nagel O, Zapata M, Basílico JC, Bertero J, Molina MP, Althaus R. 2009. Effect of chloramphenicol on a bioassay response for the detection of tetracycline residues in milk. J Food Drug Anal. 17(1):36-42.
Zanella GN, Mikcha JMG, Bando E, Siqueira VLD, Machinski M. 2010. Occurrence and antibiotic resistance of coliform bacteria and antimicrobial residues in pasteurized cow’s milk from Brazil. J Food Prot. 73(9):1684-1687.
Tahun ini : | 209,433 |
Bulan ini : | 22,998 |
Hari ini : | 212 |
Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok
Jl. Enggano No 17, Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310, DKI Jakarta, Indonesia
Email: infokarantinapriok@pertanian.go.id
Telp. (021) 43800148, 43800150
Fax (021) 43902124, 43931061
SMS/WA 082311811181
Website http://tanjungpriok.karantina.pertanian.go.id/