Artikel Drh. Ai Srimulyati, M.Si (22 Februari 2017)
Leptospirosis adalah zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain-lain. Leptospirosis disebut pula sebagai “Weil’s Disease” yang diberikan sebagai penghargaan kepada penemu pertama bakteri ini yaitu Adolf Weil di Heidelberg pada tahun 1870. Zoonosis adalah penyakit yang secara alami dapat dipindahkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya (WHO 2014).
Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia. Penyakit ini muncul di daerah perkotaan dan pedesaan baik di negara maju maupun negara berkembang kecuali daerah kutub. Sepuluh dari sejuta orang menderita penyakit ini dengan kematian 20-25%. Penularan penyakit ini terjadi pada negara maju maupun negara berkembang tetapi terutama negara berkembang tropis dengan kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan mendukung (Supraptono et al. 2011).
Organisme Leptospira tertumpah dalam urin hewan yang terinfeksi termasuk tikus dan hewan peliharaan yang mungkin tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Manusia biasanya menjadi sakit setelah kontak dengan urin yang terinfeksi atau melalui kontak dengan air, tanah atau makanan yang telah terkontaminasi. Wabah leptospirosis sering dikaitkan dengan banjir. Pada hewan, gejala klinis leptospirosis sering berhubungan dengan penyakit ginjal, penyakit hati atau disfungsi reproduksi. Pada manusia, kasus leptospirosis kebanyakan ringan atau asimtomatik dan tidak dikenali namun pada beberapa pasien, gejala penyakit dapat meningkat menjadi gagal ginjal, disfungsi hati, meningitis aseptik, perdarahan paru dan sindrom lainnya (Adesiyun et al. 2011).
Menurut aspek cara transmisinya leptospirosis merupakan salah satu direct zoonoses (host to host transmission) karena agen penyakit ditularkan dari satu vertebrata ke vertebrata lain yang peka melalui kontak, wahana (vehicle) atau vektor mekanis. Penyakit ini bisa berkembang di alam di antara hewan baik liar maupun domestik dan manusia merupakan infeksi terminal. Dari aspek ini penyakit tersebut termasuk golongan anthropozoonoses karena manusia merupakan “dead end” infeksi (Supraptono et al. 2011).
Penyebaran leptospirosis sangat luas ke berbagai wilayah di dunia terutama daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Leptospira banyak menginfeksi hewan ternak, hewan kesayangan, hewan liar dan juga manusia. Manusia dapat terserang penyakit leptospirosis karena Leptospira merupakan salah satu bakteri yang penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Bakteri ini bebas berkembang di alam dan masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir mata, hidung atau kulit yang lecet/luka dan kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus yang terinfeksi Leptospira (CFSPH 2013).
Leptospirosis di lndonesia tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian pada manusia akibat leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, bisa mencapai 2.5-16.45%. Pada usia lebih dari 50 tahun tingkat kematian bisa mencapai 56%. Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), resiko kematian akan lebih tinggi. Pada beberapa publikasi, angka kematian dilaporkan antara 3-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi (Supraptono et al. 2011).
Beberapa variabel yang mempengaruhi kejadian leptospirosis diantaranya: tidak selalu memakai alat pelindung diri (APD), pendidikan rendah, kontak dengan daging atau bagian tubuh hewan yang mati serta kontak dengan genangan air. Luasnya penularan leptospirosis di Indonesia juga tergantung pada faktor serovar, iklim, kepadatan populasi dan derajat kontak antara maintenance host dan incidental host. Pekerjaan merupakan faktor risiko yang penting pada manusia. Kelompok yang berisiko adalah petani atau pekerja di sawah, pekerja perkebunan tebu, pekerja tambang, pekerja rumah potong hewan, dokter hewan, perawat hewan atau orang-orang yang berhubungan dengan perairan, lumpur dan hewan baik hewan peliharaan ataupun satwa liar (Supraptono et al. 2011).
Mengontrol infeksi pada ternak dan hewan peliharaan dapat mengurangi risiko penularan kepada manusia, tapi reservoir satwa liar dan lingkungan yang terkontaminasi juga perlu mendapat perhatian. Hygiene personal dan pakaian pelindung merupakan langkah-langkah pencegahan yang penting pada pekerjaan berisiko tinggi. Sepatu boot karet dapat mengurangi risiko leptospirosis saat berendam di air yang terkontaminasi urin (Goris et al. 2014). Selain itu, karantina dan pengujian ternak yang baru diperoleh atau baru datang ke sebuah peternakan juga dapat membantu mencegah penularan Leptospira (Sykes et al. 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Adesiyun AA, Baboolal S, Suepaul S, Dookeran S, Stewart JA. 2011. Human leptospirosis in the Caribbean, 1997-2005: characteristics and serotyping of clinical samples from 14 countries. Rev Panam Salud Publica. 29(5):350-7.
[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2013. Leptospirosis [internet]. [diacu 2014 Oktober 10]. Tersedia pada: http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/leptospirosis.pdf.
Goris MG, Leeflang MM, Loden M, Wagenaar JF, Klatser PR Hartskeerl RA, Boer KR. 2013. Prospective evaluation of three rapid diagnostic tests for diagnosa of human leptospirosis. PLoS Negl Trop Dis. 7(7):e2290.
Sykes JE, Hartmann K, Lunn KF, Moore GE, Stoddard RA, Goldstein RE. 2011. Small animal consensus statement on leptospirosis: diagnosa, epidemiology, treatment, and prevention. J Vet Intern Med. 25(1):1-13.
Supraptono B, Sumiarto B, Prampno D. 2011. Interaksi 13 Faktor Risiko Leptospirosis. Berita Kedokteran Masyarakat. 27(2).
[WHO] World Health Organization. 2014. Leptospirosis. [internet]. [diacu 2014 Oktober 10]. Tersedia dari: http://www.who.int/topics/leptospirosis/en/.
Tahun ini : | 224,307 |
Bulan ini : | 37,872 |
Hari ini : | 881 |
Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok
Jl. Enggano No 17, Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310, DKI Jakarta, Indonesia
Email: infokarantinapriok@pertanian.go.id
Telp. (021) 43800148, 43800150
Fax (021) 43902124, 43931061
SMS/WA 082311811181
Website http://tanjungpriok.karantina.pertanian.go.id/